Putra Teluk Belitung Punya Cerita
SEPERTI BUKU-BUKU MERINDU, dawat kepada kertas ingin bertaut
genggam
Bagi bunyi kepada
huruf memendam idam, aku selalu tiba di rumah kalian
Dalam renyai
kata-kata, yang belum sempat ditampung kalimat
Paragraf dan bab yang
penuh harap, dalam naskah senantiasa berhujjah.
Sejak menempuh pendidikan di sekolah dasar, ia tak bisa jauh dari dunia
sastra. Mengasah kemampuan di bidang jurnalistik menambah ilmunya hingga jadi
budayawan berprestasi di Riau
Penggalan sajak berjudul Seperti Buku-buku Merindu diatas tersaji dalam buku sajak penggal
ketiga Tersebab Daku Melayu. Ia buku
berisi kumpulan sajak karya Taufik Ikram Jamil. Budayawan Riau.
Ini adalah buku kumpulan karyanya yang kedelapan telah
diterbitkan. Dan ia masih terus berkarya.
TAHUN INI PADA 19
SEPTEMBER IA TEPAT BERUSIA 53 TAHUN. Lahir di Teluk
Belitung, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, dari pasangan Jamil Nur dan
Azizah. Anak ke empat dari 10 bersaudara ini mulai menyukai sastra sejak
sekolah dasar. Prestasi ia raih ketika menjadi juara umum pada kompetisi baca
sajak tingkat sekolah menengah pertama.
Tak hanya membaca sajak, Taufik juga aktif menulis di
media cetak saat di Sekolah Pendidikan Guru. Selesai belajar di sekolah setingkat
menengah atas ini, ia ingin kuliah di Pulau Jawa. Pada 1983, ayah dari tiga
anak ini minta izin untuk dibolehkan belajar di Jakarta. Sayang, restu tak
didapat.
Tak patah arang, ia minta izin untuk kuliah di Pekanbaru.
Ia mendaftar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau. Karena
keaktifannya menulis, Rida K Liamsi, pendiri Riau Pos Grup, menawarinya jadi wartawan
koran Genta di Bengkalis. Tahun 1970-an hanya ada Koran Genta di Riau.
Gayung bersambut, ia kuliah sambil bekerja sebagai
wartawan. Tak hanya di Genta, ia juga menulis di Suara Karya. “Bisa mencukupi
kebutuhan selama kuliah,” ujar Taufik. Kecintaannya dengan jurnalistik, membuat
ia juga bergabung dengan Bahana Mahasiswa
pada 1984. Selama 2 tahun ia berproses dan sampai menjadi Redaktur Pelaksana.
Said Suhil Ahmad, alumni Bahana Mahasiswa yang juga rekan
satu fakultas Taufik pada 1984 bercerita soal kepiawaian menulis Taufik.
Menurutnya, karena Taufik sudah berpengalaman, tulisan yang dihasilkannya di
Bahana sudah baik. “Proses kreatif menulisnya bagai sinar yang menembus segala
waktu,” ujar Said Suhil. Ia juga bersama Taufik bekerja di Genta dan tinggal di
kantor redaksi koran tersebut.
TAUFIK MASIH INGAT
PADA 1980-AN PEKANBARU SEDANG
GENCAR-GENCARNYA PROMOSIKAN BUDAYA MELAYU. Karena berasal
dari daerah kental dengan Melayu, ia pun tertarik mempelajarinya. Taufik kerap
berdiskusi dengan Umar Usman Hamidy atau dikenal UU Hamidy, Budayawan Riau. Ia
juga banyak berdiskusi dengan Tabrani Rab. Ia suka berdiskusi untuk menambah
pengetahuannya.
Cukup empat tahun Taufik menamatkan pendidikan strata
satu. Pada 1988, Ada peluang untuk kerja di harian umum Kompas. Diterima, dua tahun pertama, ia ditugaskan di Pekanbaru.
Setelah itu wilayah kerjanya pindah ke Jakarta. Desk liputan yang terlama yakni pendidikan dan kebudayaan.
Ia semakin dikenal didunia jurnalistik kerena pernah
menulis laporan tentang mahasiswi UR yang jadi petugas pos ronda di sekitar
Panam untuk lanjutkan kuliah. Kemudian juga laporan dari Pekanbaru tentang
bantuan rakyat miskin yang diperjualbelikan. “Saya waktu itu sampai
dikejar-kejar sama orang dinas,” kenang Taufik.
Selama kurun waktu jadi wartawan kompas, ia aktif menulis
sastra. Karya sastra berupa novel, cerpen dan puisi. Taufik tegaskan cerita
fiksi yang diangkatnya berasal dari kenyataan. “Semua ada disekitar tinggal
butuh pendalaman saja,” ungkapnya.
Sebagian besar karyanya diangkat dari keseharian kegiatan
masyarakat melayu. Karya-karya yang dihasilkannya antara lain, puisi sudah
dibukukan yakni Tersebab Haku Melayu pada 1995, diterbitkan oleh Yayasan
Membaca Pusaka Riau. Tersebab Aku Melayu
pada 2010 diterbitkan Yayasan Pusaka Riau. Kumpulan puisi ini sempat masuk lima besar dalam
Khatulistiwa Literary Award tahun 2010. Dan kumpulan puisi penting versi
majalah Tempo 2010.
Kemudian terbitan 2015 lalu , Tersebab Daku Melayu
mendapat predikat buku puisi pilihan Hari Puisi Indonesia 2015. Kumpulan
cerpennya di 1996 yakni Sandiwara Hang
Tuah diterbikan oleh Grasindo dijadikan buku pilihan sagang. Sampai pada
2003 Taufik Ikram Jamil dinobatkan sebagai seniman terbaik pilihan Sagang.
Anugerah Sagang ini diberikan karena dedikasi terhadap kehidupan berkesenian
dan budaya Melayu.
Pada 1999, Pusat Bahasa Depertemen Pendidikan dan
Kebudayaan berikan penghargaan untuk Kumpulan cerpennya dengan judul Membaca
Hang Jebat. Kemudian kumpulan cerpen Hikayat Batu-batu diterbitan Kompas di
2005. Dan salah satu judulnya, Menjadi
Batu dapat juara pertama dalam sayembara menulis cerpen Majalah Sastra Horison pada 1997.
Terakhir cerpen Jumat
Pagi Bersama Amuk, pada 1998 jadi cerpen utama Indonesia menurut Dewan
Kesenian Jakarta. Yang sedang dalam proses penerbitan adalah kumpulan cerpen Hikayat Suara-suara dan biografi Presiden Penyair Sutardji Calzoum
Bachri.
Untuk karya novel
pernah bukukan yang berjudul Hempasan
Gelombang diterbitkan Grasindo pada 1998. Dapat juara harapan dua dalam
penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta 1997. Di 2001 lewat Kompas terbitkan
novel Gelombang Sunyi.
Peneliti dari University
of Victoria, Canada yakni Michael Bodden menyebutkan karya Taufik adalah
sebuah makna baru untuk novel karena warna lokal yang diutamakan. Kemudian
diubah menjadi sebuah identitas linguistik, budaya, dan sejarah yang berbeda
dengan penulisan penyair Indonesia pada umumnya. Dengan kondisi ini, Bodden
melihat bahwa sastra Indonesia sedang menegaskan perubahan yang terjadi karena
otonomi. Bentuk ideologi negara dan sebagian besar sifat politikus . Karya
Taufik menunjukkan adanya rintisan gagasan baru tentang nasionalisme yang tetap
pakai identitas lokal.
Sedangkan Will Derkm Peneliti dari Universitas Leiden.
Karya taufik adalah penyatuan antara
kumpulan kata-kata dan pengucapannya sebagai suatu perlawanan terhadap dominasi
pusat.
Ada juga buku sajak Taufik dalam tiga bahasa, diberi
judul What’s Left and Other Poems oleh
BTW, Jakarta tahun 2015. Karya sempat dipamerkan dalam Frankfurt Book Fair 2015. Dua buku sejarah juga pernah ditulis
taufik bersama kawan-kawannya, Dari Percikan Kisah Membentuk Provinsi Riau pada
2003 dan Tikam Jejak Pulau Bengkalis, 2004.
TAUFIK JUGA SEORANG
PENGGIAT SENI. Setelah berhenti dari Kompas pada 2002. Ia menjadi
perintis bersama Yayasan Pusaka Riau sebagai cikal bakal Akademi Kesenian Melayu Riau atau AKMR.
Kampus ini terdiri tiga program studi. Teater, tari dan musik. Berada di
komplek Bandar Serai Raja Ali Haji. Tepat dibelakang Gedung Kesenian Anjungan
Idrus Tintin. Dari awal buka Taufik
menjadi dosen sampai terakhir 2012 lalu.
Zuarman, sejak dua bulan lalu jabat Wakil Direktur I
bidang akademis AKMR mengenal Taufik sejak 20 tahun lalu. “Taufik sosok yang
konsisten dalam melestarikan budaya melayu. Modal semangatnya besar,” ujar
Dosen Seni Musik ini.
Sudal Analan, Kepala Tata Usaha AKMR banyak belajar dari
Taufik. Terutama urusan surat-menyurat. Menurutnya Taufik orang yang teliti. Misal
suatu ketika ingin mengirim surat dan butuh tanda tangan Taufik. Sering dibalikkan
dan diminta rubah isinya. “Dia minta diperbaiki titik koma yang salah,” kenang
Sudal.
Taufik juga sempat jadi Ketua Dewan Kesenian Riau periode
2002 hingga 2007. Sekarang mengajar di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning dan Universitas Islam Riau.
Suami dari Umi Kalsum ini sering bawa keluarganya
menonton pertunjukan teater atau puisi. Dan dirumah selalu ajarkan budaya
melayu dalam kegiatan sehari-hari. “Keluarga hanya beri dukungan moril pada
bapak untuk terus berkarya,” ucap Megat, anak Taufik yangkuliah di Fakultas
Hukum Universitas Riau. #
**Telah dipublikasikan di Majalah Bahana Mahasiswa Universitas Riau Edisi Maret April 2016
Comments
Post a Comment