Dari Manyambau Sampai Jalang Manjalang

Masyarakat Kabun punya tradisi menyambut dan melepas ramadhan. Tradisi ini penuh makna. Selain memperkuat silaturrahmi, perjodohan kadang dumulai dari sini.
Oleh Eko Permadi




SATU hari jelang ramadhan tiba, usai melaksanakan shalat ashar, seluruh ninik mamak, alim ulama, kepala desa dan anak kemenakan berkumpul di Masjid Al Maulana Desa Kabun. Sebanyak 60 dulang telah tersedia.

Dulang-dulang tersebut diisi dengan berbagai macam racikan tumbuhan yang wangi. Akar tanaman, santan, kencur, cengkeh, kunyit dan kayu manis. Rempah-rempah ini digiling bersamaan hingga halus. Sementara akar tanaman dan tumbuhan wangi tadi, dicampur dengan santan lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diletakkan dalam guci.

Masyarakat Desa Kabun Kabupaten Rokan Hulu menamakan benda ini balimau kasai. Racikan tumbuhan alam yang selalu digunakan pada saat menyambut bulan ramadhan. Mengikuti perjalanan waktu, bahan-bahan untuk melaksanakan balimau kasai ditambah dengan alat mandi berupa sabun, shampo, pasta gigi dan sikat gigi. Benda yang sudah terisi dalam dulang ini kemudian dinamakan jambau.

Setelah jambau terisi semua, alim ulama membacakan doa selamat untuk orangtua, saudara dan masyarakat Kabun. Selanjutnya, ninik mamak memberi nasihat pada anak kemenakan supaya menjauhi narkoba, pergaulan bebas, berjudi dan minuman keras.
Usai semua prosesi itu dilakukan, ninik mamak memerintahkan anak kemenakan membawa masing-masing jambau keluar dari masjid. Semua berbaris teratur berdasarkan urutan yang telah ditentukan.

Anak kemenakan pembawa jambau berada paling depan. Diikuti para datuk semua suku. Dua orang dubalang membawa umbul-umbul, di belakangnya kelompok barzanji terus melantunkan puji-pujian dan shalawat sembari memainkan kebano—alat musik masyarakat setempat berupa gendang. Masyarakat lainnya mengikuti dari belakang. Mereka berjalan kaki, ada juga yang mengendarai kendaraannya perlahan mengikuti laju langkah kaki yang di depan.

“Kami memuliakan kaum perempuan. Jadi mereka paling depan,” kata Datuk Nuanso.

Anak kemenakan pembawa jambau adalah perempuan dari masing-masing suku. Ada enam suku. Masing-masing memiliki ninik mamak atau pemimpin suku. Suku Melayu Mudik pemimpinnya Datuk Nuanso, Suku Patopang oleh Datuk Paduko Rajo, Suku Melayu Tonga oleh Datuk Bandaro atau Majo Lelo, Suku Piliang oleh Datuk Paduko Tuan, Suku Melayu Bowo oleh Datuk Majo Kayo dan Suku Chaniago oleh Datuk Majendo.

Masing-masing suku ini menyediakan 10 jambau dan menentukan 10 anak kemenakan untuk membawa jambau.
Jambau kemudian dibawa menuju tepian sungai di Kampung Lama.  Asal muasal diyakini sebagai tempat bermukimnya masyarakat Kabun. Rombongan disambut oleh dua orang dengan beradu silat. Mereka saling unjuk jurus hingga masing-masing merasa letih. Setelah itu mereka baru akan menyalami para datuk yang tiba. “Penonton kadang minta kami lanjut terus bersilat,” kata Ismir, seorang pesilat.





Setelah disambut dengan silat, anak kemenakan mulai meletakkan jambau satu persatu di tepi sungai. Prosesi balimau kasai diawali dengan mendengarkan kembali petatah-petitih berisi nasihat dari para datuk. Setelahnya, air limau yang sudah dicampur dengan santan disapu ke kepala. Jika ada tamu atau pejabat yang hadir, prosesi ini dilakukan langsung oleh datuk di kepala tamu tersebut.

Para datuk juga akan turun ke sungai untuk mandi jika tamu-tamu hadir dan ikut mandi di sungai. “Anak kemenakan tidak berani mandi lagi bila para datuk turun mandi,” kata Datuk Paduko Rajo. Jika datuk tidak mandi, anak kemenakan diperbolehkan mandi namun laki-laki dan perempuan mandi dengan jarak yang berbeda.


Selain melangsungkan prosesi adat di tepian sungai, balimau kasai juga biasa diramaikan dengan hiburan seperti panjat pinang. Batang pinang ditegakkan tak jauh dari tepi sungai tempat balimau kasai berlangsung.
 
Usai mandi dan menikmati hiburan di tepi sungai, masyarakat kembali ke desa menjalankan shalat magrib bersama. Anak kemenakan kembali menjunjung jambau untuk dibawa pulang. Kali ini jambau sudah dalam keadaan kosong. “Kadang diselipkan surat atau uang sudah senang,” kata Nely, mengenang masa remajanya membawa jambau.

Surat atau uang yang dimaksud Nely, diselipkan oleh anak kemenakan laki-laki. Seringkali perjodohan bermula dari tradisi manyambau balimau kasai ini. Nely mulai membawa jambau sejak umur 12 tahun. Saat membawa jambau ia kerap mengenakan kebaya dan selempang.

Menurut Datuk Paduko Rajo, manyambau balimau kasai juga momentum menyambung slitaurrahmi antar sesama masyarakat di Kabun. Seringkali masyarakat yang berselisih paham kembali akur setelah mengikuti prosesi ini bersama-sama.

 “Intinya, sebelum masuk bulan suci ramadhan itu kita harus saling bermaafan.”

Balimau kasai telah dilaksanakan. Magrib pun tiba dan masyarakat juga telah melaksanakan shalat bersama. Tarawih malam pertama juga dilakasanakan. Suasana ramadhan mulai menyelimuti dan mengisi hari-hari masyarakat Kabun. Tak ada yang beda selama ramadhan berjalan. Tarawih, witir dan tadarus terus mengisi malam-malam dibulan suci ramadhan.

Memasuki 10 ramadhan, masyarakat kembali berkumpul. Biasanya dilakukan usai tarawih. Kali ini masyarakat membahas persiapan jalang-manjalang untuk memeriahkan idul fitri. Kepala desa, ninik mamak, anak kemanakan dan masyarakat turut hadir. Kata Agusri pengurus masjid, pembahasan jalang-manjalang tidak cukup satu malam. “Kadang disambung malam berikutnya.”


Mulai pertengahan ramadhan juga, dua hingga tiga pemuda dari masing-masing suku diharuskan mengikuti latihan barzanji dan zikir. Mereka berlatih memukul kebano atau rebana sambil melafalkan puji-pujian pada Allah dan rasul.




BEBERAPA jambau tersusun rapi di ruang tamu rumah Datuk Paduko Rajo. Para datuk dari suku lain dan beberapa warga duduk bersama mengelilingi jambau, sambil melafalkan puji-pujian pada Allah dan Muhammad. Delapan orang mengiringi pujian dengan memukul kebano.
Rumah Datuk Paduko Rajo perlahan semakin ramai.

 Sembari menunggu kedatangan anak kemenakan, kepala desa dan camat, shalawat terus dilantunkan. Menunggu kedatangan orang ini tidak memakan waktu lama. Bila sudah berkumpul semua, orang-orang mulai bergerak mendatangi satu persatu kediaman yang hendak dikunjungi.
Idul Fitiri Juli 2016 lalu, dari rumah Datuk Paduko Rajo orang-orang bergerak menuju rumah Datuk Nuanso. Seperti proses menghantar balimau kasai ke sungai, jalang-manjalang juga dilakukan dengan berjalan berurutan dimulai paling depan anak kemenakan pembawa jambau. Diikuti oleh datuk dari tiap suku, pelantun barzanji dan masyarakat dibarisan paling belakang.
Tiba dikediaman datuk, anak kemenakan dari Suku Melayu Mudik akan menyambut rombongan. Pesilat dari suku ini juga menyambut dengan keahlian jurus masing-masing. Setelahnya, jambau mulai dihidangkan di tengah-tengah rombongan yang tiba dan seperti biasa, para datuk terus berucap memberi nasihat dengan petatah-petitih dihadapan anak kemenakan. Kebersamaan pun terjalin dalam suasana ini karena semuanya saling bertatap muka, bersenda gurau dan menikmati makanan yang dihidangkan.

“Kalau makanan dalam jambau sudah habis, pembawa jambau lain akan mengisinya lagi,” ujar Nelly.

Jambau yang dibawa oleh anak kemenakan diisi dengan beragam makanan. Kebanyakan kue khas daerah Kabun. Misalnya enta, sakolat, angkanan cangkiu, angkanan talam, kole-kole, malako, logang, bolu basa, salomak kuning, asidah, luo, kalamai dan lomang dengan santan tanguli. Kue ini dihidang dalam piring empat lapis. Maknanya, kata Datuk Paduko Rajo, sahabat Nabi Muhammad ada empat, imam ada empat dan adat dengan istilah berjalan lurus berkata benar.

Tak hanya kue, masyarakat Kabun juga melengkapi sajian jalang-manjalang dengan buah-buahan. Biasanya Apel, Jeruk dan Pir.
Dari rumah Datuk Nuanso selaku pucuk adat Suku Melayu Mudik, rombongan kembali bergerak ke rumah para datuk pimpinan suku lainnya. Prosesinya sama. Disambut oleh anak kemenakan masing-masing suku dan unjuk silat. Juga tak lepas dari nasihat-nasihat para datuk. 

Setelah rumah para datuk dikunjungi semua, rombongan akan mendatangi masjid. bertemu ustadz, alim ulama untuk mendengar nasihat agama. Yang terkahir dikunjungi dari prosesi ini adalah kantor pemerintahan seperti kepala desa maupun camat. Proses jalang-manjalang ini tidak selesai satu hari. Masyarakat akan melanjutkan keesokan harinya.

Beginilah masyarakat kabun mengisi hari-hari di bulan syawal. Jalang-manjalang dimulai pada hari kedua idul fitri. Biasanya, ini berlangsung selama tujuh hari. Sekarang masyarakat bergantung pada kecukupan ekonomi. Jika tidak sanggup melaksanakan selama tujuh hari, masyarakat mempersingkatnya jadi tiga hari. Bagi mereka jalang-manjalang harus tetap dilakukan meski dengan keterbatasan ekonomi.

Tradisi manyambau balimau kasai dan jalang-manjalang dimulai pada 1833. Kala itu, pemimpin suku di wilayah Kabun yang berada dibawah kekuasaan Siak Sri Indrapura, berkumpul membahas tanah ulayat dan tradisi yang ada di tengah masyarakat. 

Pertemuan dipimpin oleh Datuk Bosao Gubernur Wilayah Kabun dan Datuk Onder mewakili Kerajaan Siak Sri Indrapura. Kesepakatan akhir untuk adat istiadat dalam pertemuan itu memutuskan, dibuatnya balimau kasai dan jalang-manjalang dalam menyambut ramadhan serta mengisi hari raya idul fitri.
Alasannya, masyarakat Kabun pada masa itu dianggap kurang menjalin silaturrahmi satu sama lain. Masyarakat banyak menghabiskan waktu bekerja di kebun masing-masing. Tanaman utama kebun masyarakat adalah cabai. Dari sinilah, harapan agar masyarakat saling menjalin silaturrahmi satu sama lain mulai digalakkan hingga sekarang.

Anak kemenakan atau masyarakat yang tak ikut serta dalam tradisi tahunan ini, akan diberikan sanksi oleh ninik mamak atau datuk pimpinan suku. Mereka dikenakan denda dua kaleng pasir untuk pembangunan masjid. Tak hanya itu, para datuk juga tidak akan menghadiri undangan anak kemenakan yang punya hajat, sebelum membayar denda tujuh jambau.

TRADISI menyambau dan jalang manjalang pernah ditulis oleh Nur Rahmi dalam skripsinya, berjudul, Tradisi Manyambau Kenegerian Kabun Kecamatan Kabun Kabupaten Rokan Hulu. Rahmi—panggilan sehari-harinya—alumni Sosisologi Fakultas Ilmu Sosisal dan Ilmu Politik. Ia menyelesaikan tugas akhirnya pada tahun 2014.

Rahmi menjelaskan perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan tradisi yang ada di kampung nya itu. Dalam skripisinya dijelaskan, awal mula tradisi ini dilaksanakan, anak kemenakan yang membawa jambau sebanyak 30 orang dari masing-masing suku. Kini hanya 6 orang saja. Kemudian, pembawa jambau tidak lagi mengenakan selempang, kebaya dan songket. Cukup berpakaian biasa asal dianggap masih sopan.

Terkait sajian dalam dulang juga ada beberapa penambahan seperti , kue siap saji dan buah-buahan. Bahkan, ninik mamak terkadang memberi uang pada tiap pembawa jambau. Dulunya, ini tak pernah dilakukan. Tak hanya itu, menurut Rahmi, manyambau juga sudah jauh dari makna perjodohan.
Sebagai orang yang belajar ilmu Sosiologi, Rahmi menggunakan pendekatan teori perubahan sosial dalam menjawab fenomena perubahan tradisi manyambau dan jalang manjalang. Ia mengungkapkan penjelasan Selo Soermardjan dan Soelaeman Soemardi, yang membedakan perubahan atas dua golongan. Yakni, berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri.
 
Perubahan dari dalam masyarakat seperti perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi yang canggih, pertambahan penduduk dan pertentangan atau pemberontakan yang muncul dalam masyarakat itu sendiri. Sementara, perubahan dari luar bisa dipengaruhi karena masuknya kebudayaan lain.

Untuk menjaga keberlangsungan tradisi ini, tiap bulannya ninik mamak rutin buat perkumpulan bersama masyarakat dan anak kemenakan. Dalam kesempatan ini, ninik mamak tak luput menjelaskan dan memberi nasihat agar menjaga budaya dan tradisi yang ada. Caranya, ninik mamak kerap melibatkan anak kemenakan dalam rangkaian kegiatan adat di masyarakat.

Al Azhar Ketua Lembaga Adat Melayu Riau mengatakan, tradisi manyambau dan jalang manjalang tetap ada hingga kini karena memiliki nilai religius. Sebab, pelaksanan tradisi ini berhubungan dengan kegiatan keagamaan menyambut ramadhan dan merayakan idul fitri. Ditambah lagi, masyarakat Kabun meyakini, manyambau adalah momen membersihkan diri sebelum melaksanakan ibadah puas di bulan ramadhan.

Terkait adanya perubahan dalam pelaksanaan manyambau dan jalang menjalang, Al Azhar tidak mempersoalkannya. Seperti penambahan berbagai varian sajian selama tradisi berlangsung, tidak menjadi permasalahan asal tidak meninggalkan sajian yang memang sudah ditetapkan dari awal. 

 “Yang menjadi catatan, jangan sampai merusak nilai suatu tradisi.”*

*Tulisan ini sudah diterbitkan di Majalah Bahana Mahasiswa Edisi Januari-Februari 2017

Comments