Kolaborasi Media dan Warganet Melawan Hoax di Musim Pemilu
Kolaborasi ini akan melahirkan Pemilu 2019 yang damai,
berkualitas, bermartabat dan terwujudnya keberlanjutan pembangunan nasional
Oleh Eko Permadi
“Sekarang
ada tujuh kontainer di Tanjung Priok. Sudah turun. Dibuka satu, isinya kartu
suara yang dicoblos nomor 1…kemungkinan dari China. Total katanya … 70 juta
surat suara. Tolong sampaikan ke akses, ke Pak Darma kek atau ke pusat. Ini tak
kirimkan nomor telepon orangku yang di sana untuk membimbing ke kontainer itu,
ya. Atau syukur ada akses ke Pak Djoko Santoso, pasti marah kalau beliau yang
cek ke sana.”
Begitulah rekaman yang beredar di dunia maya
awal Januari lalu. Kabar ini kian meledak setelah Andi Arif, politisi Demokrat
berkicau di akun Twitternya.
“Mohon dicek, kabarnya ada tujuh kontainer
surat suara yang sudah dicoblos di Tanjung Priok. Supaya tidak fitnah harap
dicek kebenarannya. Karena ini kabar sudah beredar.”
Tak lama setelah itu, polisi, KPU dan Bawaslu
bergerak cepat memastikan kabar tersebut dan sekali lagi, kabar itu adalah
bohong alias hoaks.
Sialnya, warganet seperti Andi Arif berkicau
di twitter malah menimbulkan keributan
dan kegaduhan. Niatnya untuk meminta informasi itu dicek kebenarannya jadi
bumerang lantaran tanpa dilakukan dengan cara yang benar. Ia bisa saja
melaporkan informasi soal 7 kontainer sudah tercoblos langsung ke Badan
Pengawas Pemilu. Bawaslu tentu akan menanganinya.
Media punya peranan penting dalam verifikasi
berita simpang siur. Tirto.id
contohnya membuat hipotesa untuk menguji kabar tersebut benar atau tidak.
Caranya dengan mengukur luas kontainer
dibagi dengan kapasitas yang memungkinkan diisi kertas suara. Alhasil, tujuh
kontainer tak mungkin cukup menampung sebanyak 70 juta surat suara. Artinya
kabar ini bisa dipastikan hoaks.
Kolaborasi antara media dan warganet punya
peranan penting untuk melawan hoaks. Upaya ini untuk tercapainya pemilu 2019
yang damai, berkualitas dan bermartabat serta terwujudnya keberlanjutan
pembangunan nasional.
Melalui Undang-undang Nomor 7 tahun 2017
menjadi tonggak sejarah pemilihan umum serentak di Indonesia. Warga akan
memilih anggota DPR RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota serta Presiden dan
Wakil Presiden.
Pesta demokrasi ini kiranya berlangsung
damai, berkualitas dan bermartabat. Meski begitu, masih ada upaya orang tak
bertanggung jawab dengan menyebar berita bohong yang sangat jelas mengganggu
jalannya pemilu.
Hoaks sudah diserap dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang artinya berita bohong. Banyaknya berita bohong yang beredar tak
lepas dari perkembangan teknologi.
Berderet sejak ditemukannya mesin cetak, kemudian digantikan radio, berlanjut
televisi—hingga saat ini era internet.
Kebiasaan masyarakat dalam memperoleh
informasi bergeser sesuai dengan mediumnya. Sekarang ini dimana saja dan kapan
saja sangat mudah mengakses informasi selagi masih tersambung dengan jaringan
internet.
Khusus di Indonesia, pengguna internet kian
meningkat dari tahun ke tahun. Laporan dari Assosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia pada 2017 mendapati 143, 26 juta penduduk Indonesia
menggunakan Internet. Angka ini menyentuh 54,68 persen dari seluruh penduduk
Indonesia.
Penetrasi internet mempercepat pertumbuhan
pemakai media sosial. Hootsuit mengeluarkan Global Overview Report
2018, Indonesia pengguna keempat terbanyak Facebook yaitu 130 juta orang, kemudian Instagram ketiga terbanyak dengan pengguna aktif 53 juta orang. Penyebaran
berita hoaks semakin mudah jika melihat data ini.
Kementerian Komunikasi dan Informasi menyatakan
kabar bohong semakin meningkat jelang pemilu kebanyakan beredar di media
sosial. Hal ini menjadi perhatian bersama warganet selaku pengguna—kadang
pembuat konten dan juga media yang lebih banyak membuat konten.
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel menulis buku Blur : How To Know What’s True in The Age of
Information Overload kemudian buku ini diterjemahkan berkat kerjasama
Yayasan Pantau dengan Dewan Pers dengan judul Blur : Bagaimana Mengetahui Kebenaran
di Era Banjir Informasi.
Didalamnya, Kovach dan Rosenstiel menawarkan
delapan fungsi pers untuk kebutuhan pembaca atau warganet dalam jurnalisme
kaitannya dengan kolaborasi media dan warganet melawan hoaks di musim pemilu.
Pertama, Authenticator
(pensahih). Warganet membutuhkan pers mensahihkan fakta yang benar dan dapat
dipercaya. Media dapat berperan membedakan mana berita bohong atau tidak mengenai
pemilu lalu menyajikannya ke pembaca. Sebab masyarakat tak melihat hanya
sekedar informasi tetapi juga kebenaran.
Kedua, Sense
Maker (penuntun akal). Apakah masuk akal 70 juta surat suara yang sudah dicoblos
nomor urut 01 dimasukkan ke tujuh kontainer?. Hal ini menjadi tugas media untuk
mencari kebenaran karena kurang masuk akal. Selain itu, banjir informasi kadang
buat kebingungan dan lama-lamat tak masuk akal.
Ketiga, Investigator.
Warganet selaku pembaca sangat membutuhkan liputan serius dikerjakan secara
mendalam untuk membongkar pelanggaran pemilu. Keempat, Witness Bearer
(penyaksi). Kolaborasi media dan warganet berfungsi memantau pelaksanaan
pemilu. Media menugaskan wartawannya memantau kantor KPU, Bawaslu dan perangkat
lainnya yang berhubungan dengan pemilu. Jika kurang, warga bisa
menggantikannya. Ini lah kolaborasi yang ideal jika tujuan pemilu ingin
dicapai.
Kelima, Empower
(pemberdaya). Sekali lagi, peran warga membantu melawan hoaks kolaborasi dengan
media. Warga berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam penyelenggaraan pemilu
kepada media. Misalnya untuk memantau lokasi TPS yang jauh tentu sangat sulit
dapat dibantu oleh warga setempat.
Keenam, Smart Agregator. Banyaknya informasi
yang disajikan di situsweb harus dimanfaatkan secara cerdas. Wartawan dan
warganet dapat menelusurinya sendiri untuk memperkaya informasi misalnya peserta
pemilu. Baik partai maupun calonnya.
Ketujuh, Forum
Organizer (penyedia forum). Media menyediakan ruang untuk pembaca dalam
menyuarakan aspirasinya. Seperti ruang opini, kolom. Warga dapat menyampaikan
calon seperti apa yang layak untuk mewakilinya di senayan dan memimpin negara
lima tahun mendatang.
Terakhir, Role
Model (panutan). Media dapat memberi contoh yang baik bagaimana kerja-kerja
jurnalistik. Hal ini menjadi panutan bagi warga yang ingin melaporkan peristiwa
yang berhubungan dengan penyelenggaraan pemilu. Seperti yang dilakukan media KataIndonesia.com
ini membuat kegiatan deklarasi Anti Hoaks untuk Pemilu yang Damai dan
Bermartabat bagi netizen, blogger dan content creator. Selain itu, juga untuk para
jurnalis pesantren.
Dari delapan fungsi ini, baik media dan
warganet bisa melakukannya bersama-sama. Media harus berbenah, warganet
perbanyak baca—terutama Blur. Kolaborasi sangat penting untuk demokrasi yang
lebih baik. Kedaulatan berada di tangan rakyat sebagaimana media jadi bagian
salah satu pilar demokrasi.#
Comments
Post a Comment