Pertama Kali Naik Bus Terbang
Oleh
Eko Permadi
“Bentar ya pesawatnya
belum siap,” kata seorang petugas berhentikan langkah kami. Petugas satu lagi
arahkan jangan jauh-jauh dari pintu keluar menuju landasan pacu.
Rombongan ini akan menuju Jakarta dari Pekanbaru. Saya termasuk
yang akan diangkut pesawat Airbus A230 milik maskapai Batik Air. Ratusan orang
menunggu pesawat siap. Ada yang mainkan telepon genggam, berbicara dengan
kerabat dan berdiam diri. Untuk sampai ke sini, setiap orang harus melalui
beberapa tahapan.
Usai lepas magrib di KFC Subrantas Pekanbaru, tiga hari
sebelum Hari Natal, saya pesan tiket Pekanbaru tujuan Jakarta melalui situs
Traveloka. Dari daftar maskapai yang disajikan ongkosnya sudah naik. Harga normal
kisaran 600 ribu sampai 700 ribu rupiah. Karena beda 40 ribu dari Lion Air—penerbangan
murah—saya memilih Batik Air seharga 787 ribu rupiah. Kelas ekonomi.
Usai memesan, Traveloka beri waktu dua jam untuk
melakukan pembayaran. Hitungan mundur dimulai seketika saya selesai mengisi
formulir. Sistem telah mengatur manusia. Saya bergegas menghidupkan motor Beat
biru menuju mesin ATM BRI. Tak sampai lima menit, mesin tempat penarikan uang
tunai dapat. Menekan tombol sesuai harga yang tertera hingga tiga digit akhir. Transfer
berhasil.
Tiga langkah keluar pintu gedung, seorang anak lelaki
berlari menuju motor yang saya parkir tiga meter dari gedung. Di luar dugaan ia
meminta uang parkir. “Sial, dipalak anak kecil!”
Saya kembali ke tempat awal. Melanjutkan proses memesan
tiket. Sebuah pesan masuk ke e-mail pribadi.
Traveloka mengirim nota keberangkatan. Tinggal menghitung mundur waktu berangkat.
Sesuai jadwal, penerbangan Batik Air Jumat, 5 Januari
2018. Diperkirakan berangkat pukul 11.45 sampai di tempat tujuan 13.30.
Traveloka mengingatkan, sudah sampai bandara 90 menit sebelum berangkat.
Saya, beserta kru Bahana : Suryadi, Agus
Alfinanda, Wilingga, Badru Chaerudin,
Rizky Ramadhan dan abang kandungku Andi. Satu lagi, Syahruddin—adik kandung
Suryadi—terakhir naik motor dengan Rizky dari Sekre Bahana menuju Bandara Sultan Syarif
Kasim II. Eka Kurniawati menyusul langsung ke Bandara dari Panam.
Sesampainya di
Bandara, memeriksa e-mail persiapan
untuk chek in. Petugas pertama
memeriksa tiket. Perempuan itu melihat tiket calon penumpang baik pakai kertas
atau hanya menunjukkan telepon genggam. Lolos.
Pemeriksaan kedua lebih ketat. Mesin sensor badan dan
barang harus dilewati. Barang bawaan diletakkan di sebelah kanan tempat mesin
bergerak ke dalam ruangan. Ini akan dipindai dengan x-ray. Setelah itu, saya berjalan ke pemeriksaan badan.
Lampu berkedip. Alarm berbunyi. Tiit..tiit..tiitt
Petugas meminta saya mengangkat kedua tangan. Ibarat mau
senam. Ia kemudian meraba seluruh badan kecuali bagian tertentu ranah pribadi. Saya
lupa memasukkan telepon seluler ke tas. Ia mengarahkan untuk memindahkan
telepon tersebut ke pemeriksaan barang dan mengulangi pemeriksaan badan.
Kali ini, saya lolos. Mesin petunjuk hal mencurigakan
atau berbahaya tak lagi merespon. Kemudian berjalan menuju boarding pass. Di sini, penumpang akan menimbang barang bawaan, diberi
nomor kursi dan tiket kecil.
Dua orang mengantri di maskapai Batik Air. Perasaan saya
kurang enak. Barang milik penumpang lain sudah ada yang diberi label. Ia berguna
sebagai tanda milik pribadi. Saya pun bertanya ke penumpang di depan. Ia berkulit
agak gelap. “Pak, dimana dapat label ini,” sambil menunjuk kertas kecil mengikat
kopernya.
Ia bingung. Saya mengulangi pertanyaan. Lelaki itu
mengerutkan dahi.
“What?”
Sontak saya jawab “..its label?”
Kami dua sama-sama bingung. Saya tidak siap pakai
bahasa inggris. Setelah fikir dua kali, saya mengingat wajahnya seperti
kebanyakan aktor di drama india. Sering tayang di stasiun tv swasta Antv. Percakapan
itu pun berlalu tanpa menemukan solusi.
Setelah antrian pertama selesai, saya melihat ia
mengeluarkan KTP. Naluri manusia adalah meniru. Bergegas ambil KTP di dompet. Giliran
saya tiba. Hanya memberi KTP dan mengangkat koper ke timbangan. Beratnya 10,1
kg. Maskapai untung 900 gram dari ketetapan batas gratis 20 kg.
Usai menerima kertas boarding pass. Saya berjalan keluar. Menemui kru Bahana. Bercakap-cakap,
swafoto menunggu 11.15 waktu masuk ke pesawat. Lebih setengah jam, saya
berpisah dengan teman dan saudara. Mengulangi proses check in kali kedua saya paham. Mesin itu tak lagi ribut.
Saya kira proses telah selesai dan langsung naik
pesawat. Usai menaiki tangga bergerak, terdengar suara mesin bicara.
“Untuk memudahkan pemeriksaan, silahkan pisahkan jam,
ikat pinggang, bahan logam atau berbahaya lainnya.”
Pemindaian terakhir ini lebih ketat. Buru-buru setiap
orang kebanyakan laki-laki melepas ikat pinggang. Memisahkan barang dan
menyiapkan KTP. Kertas Boarding pass terlebih dahulu di pindai. Petugas mencocokkan
dengan KTP.
Lima langkah kedepan orang berkumpul membuka ikat
pinggang tadi dan memasukkan ke mesin pindai. Petugas dibalik mesin memelototin
layar.
“Pak jangan bawa gunting,” katanya pada penumpang di
depan.
“Untuk cukur kumis pak.”
Saya tidak tahu lagi urusan mereka. Sibuk sendiri
memakai ikat pinggang.
Tertera di tiket pesawat menunggu di pintu dua. Kemudian
mencari pintu keluar bandara tersebut. Pintu dua di tengah ruang tunggu. Saya
menunjukkan tiket. “Oh, Batik Air pintu satu pak,” menunjukkan pintu keluar di
ujung gedung.
Dari pengeras suara, meminta penumpang Batik Air tujuan
Jakarta menaiki pesawat. Langkah pun dipercepat. Perempuan di ujung lorong juga
berteriak. “Batik Air tujuan Jakarta lewat tangga.”
Saya dan penumpang lain berlari kecil.
Sesampainya di mulut lorong, rombongan kami
diberhentikan dua orang petugas. Rupanya pesawat belum siap dinaiki. Lima menit
kemudian, seorang perempuan berompi oranye muncul dari samping gedung. “Pesawatnya
sudah siap,” katanya sambil menganggukkan kepala atas bawah.
Berjalan di landasan pacu. Seperti tren kekinian,
mengambil gambar dengan latar belakang pesawat. Jepret sekali. Buru-buru tanpa
perhatikan sudut pengambilan. Agak malu.
Menaiki tangga pesawat. Tiga pramugari menyambut. “Selamat
datang di Batik Air.” Ketiga merapatkan kedua tapak tangan. Pramugari lain
mengarahkan nomor kursi. Saya dapat 19B dibaliknya membentang sayap pesawat.
Fasilitas Batik Air ini lumayan bagus. Ada layar mini
untuk menonton film, memainkan musik atau permainan kecil. Colokan USB untuk
cas perangkat elektronik dan handsfree. Pesawat
tidak menyediakan. Dibandrol 25 ribu rupiah untuk satu buah alat mendengarkan
suara itu. Ruang kaki luas. Di buku petunjuk luasnya 30 cm. Lengkap dengan
meja. Suara dari mesin berkali-kali mengingatkan memakai sabuk pengaman.
Pesawat baru bergerak menuju landasan terbang pukul
11.50. Telat lima menit. Pelan-pelan mesin memutar. Roda berjalan memindahkan
pesawat dari tempat parkirnya. Selang beberapa meter.
Pilot memantik mesin jet. Wushh. Pekik mesin. Ia bersiap terbang.
Perlahan-lahan kecepatan ditambah. Sayap bergerak naik
turun. Mungkin ini perintah kemudinya. Kalau mau menurunkan kecepatan, bagian
tertentu sayap naik ke atas. Mau lebih cepat ia menyatu seperti sayap kembali.
Badan pesawat naik sedikit. Sama seperti bus mendaki
jalan lintas Pekanbaru-Minas. Pelan-pelan, seluruh bagian pesawat meninggalkan
bumi. Menabrak awan di ketinggan 500 meter dari bumi. Ada goncangan kecil. Ban bus
merayapi jalan tak rata.
Melewati awan pertama—tak tahu istilah ilmiahnya—pesawat
sudah normal. Seperti berdiam diri. Awan, pemandangan di bawah pesawat yang
bergerak. Berganti-ganti hamparan rumah, hutan dan sungai. Saya ingat ada
proyek pembangunan Kantor Walikota Pekanbaru. Selebihnya tidak mengenali. Hanya
dari petunjuk penerbangan di layar, pesawat berada melintasi provinsi demi
provinsi.
Sampai di ketinggian 9445 meter, suhu udara di luar
minus 32 derajat. Sayap pesawat basah. Di baliknya hamparan langit cerah. Awan bergerombol.
Seperti kecepatan di darat 869 km/jam. Empat kali lipat dari kecepatan mobil
jet darat Formula Satu.
Perjalanan memakan waktu dua jam. Pesawat mengurangi
tenaga. Menggerakkan sayap. Ketinggian menurun hingga 200 meter. Di ujung,
Kepulauan Seribu terhampar. Pulau baru hasil reklamasi belum ada tanda-tanda
bangunan. Sebelahnya sudah ada properti yang dibangun. Kapal pengangkut barang
kecil-kecil. Melihat pengendara motor dari balik kaca bus.
Moncong pesawat menukik ke bawah. Badan terdorong. Menuruni
bukit Jalan Lintas Pekanbaru-Minas. Hati-hati di ujung turunan ada tikungan. Bus
dari arah berlawanan melaju kencang.
Hamparan perumahan sudah jelas. Ada gedung tinggi. Makin
dekat ke bumi. Tak tampak landasan di ujung pesawat. Ban belakang menghentak aspal.
Detik kemudian pelan ban depan menggelinding di landasan terbang.
Biasanya bus dengan kecepatan rendah memasuki terminal.
Sayup-sayup kernet mengarahkan supir. Hingga tuas rem ditarik. Kecepatan pun
nol. Pesawat berjalan memutar-mutar. Memilih jalan menuju terminal 1c. Seorang petugas
menggunakan alat peragakan gerak senam. Ia meminta pilot belok ke kanan.
Seluruh penumpang bersiap turun. Saya turunkan kotak
yang menutupi tas di bagasi atas. Menaruhnya di kursi. Satu langkah
meninggalkan kotak di kursi, seseorang menyentuh pundak ku.
“Its your?”
“No.”
Rupanya, lelaki berkulit agak gelap. Mirip aktor drama
India itu duduk tepat di belakang kursiku. Selama perjalanan ia mengetik
sesuatu di laptop hitam.
Penumpang pun bergerumul menuju terminal. Ada yang
sedikit berlari, menarik-narik anaknya. Lain lagi yang berjalan santai menuju
pengambilan bagasi. Menunggu lama baru tas berjalan diatas mesin penggerak. Setiap
orang mengambil tasnya masing-masing.
50 meter keluar bandara. Saya menaiki Damri jurusan
Rawamangun. Melewati Tol Cengkareng.
Usai itu saya tidak ingat. Sebab sudah
terlelap tidur. Dua jam perjalanan bus masih melaju.
Seorang laki-laki memakai tas hitam jalan ke arah
kemudi. “UNJ pak.”
Saya terbangun. Tepat di arah wajah, halte UNJ. Bus
beringsut. Saya kalap. Bergegas ke depan meminta berhenti. Kampus UNJ sebagai
tempat tujuan telah lewat 400 meter. Dengan menarik koper, saya berjalan
sendiri. Baik gojek, angkutan umum lainnya silih berganti menawari. Tenang saja.
Tujuan sudah di depan mata.
Saya kemudian menghubungi teman LPM Didaktika UNJ untuk
menjemput. Lima menit kemudian saya dijemput berjalan kaki. Sekretariatnya hanya
10 meter dari jalan. Usai berkenalan dan mengobrol sampai petang. Buruknya,
sinyal paket internet tree tidak ada. Beterai pun habis. Baru sempat mengabari
tengah malam ke kawan-kawan di Bahana dan orang tua.
Perjalanan pertama kali dari Pekanbaru menuju Jakarta
selesai pakai pesawat. Sama seperti tiap libur semester pulang kampung ke
Siantar, Sumatera Utara menggunakan bus. Memakan waktu 14 jam. Berangkat sore
sampai pagi. Terguncang menabrak lobang. Mendaki bukit. Menuruninya. Seperti halnya
pesawat dari take off sampai landing.
Perjalanan ini mirip naik bus terbang.#
Comments
Post a Comment